Saya Mahasiswa Sastra. Dan Saya Bangga.

on Saturday, January 9, 2010
“Wuih hebat!” (senyum asem)
“Apa? Wah, tiap hari guten morgen dong!”
“Oh...” (muka datar)
“Mau kerja apa pas lulus?”
“Oh! Ich liebe dich ya?”

Itu reaksi orang-orang begitu saya memberitahu mereka jurusan apa yang saya ambil. Mungkin saya belum pernah cerita di postingan blog ini, kalau saya kuliah semester 5 (Februari ini masuk semester 6) di satu-satunya universitas yang menyandang nama negara ini. Dan jurusan yang saya ambil adalah sastra. Tepatnya sastra Jerman. Saya memilih jurusan ini sama sekali bukan karena asal tembak asal diterima di universitas tempat saya kuliah sekarang. Saya memutuskan memilih jurusan ini dengan segala resikonya (nggak punya modal bahasa Jerman sama sekali pas SMA) karena pertama, saya merasa bakat dan minat saya hanya ada di bahasa, dan kedua, saya punya mimpi menjadi jurnalis sepakbola yang someday bisa bertemu dan interview Michael Ballack, Juergen Klinsmann, Lotthar Matthaus atau even Franz Beckenbauer dan melakukan interview itu dengan bahasa Jerman! Singkat kata, dengan dua alasan tersebut, saya menjalani perkuliahan saya di sini dengan ikhlas dan siap dengan semua tugas-tugas, kuis, serta ujian.

Tapi ternyata, setelah saya 2, 5 tahun kuliah, di luar sana saya selalu saja bertemu dengan orang-orang yang bertanya ke saya di mana saya kuliah dan jurusan apa yang saya ambil. Lalu ketika saya menjawab pertanyaan mereka, respons mereka kebanyakan seperti yang saya cantumkan di awal postingan ini. Respons yang lama-lama membuat saya bertanya sendiri: apa ada yang salah dengan belajar sastra?

Saya tahu, mungkin dari nama, jurusan yang saya ambil terdengar ‘tidak menarik’. Sastra Jerman. Saya juga sangat sadar, banyak yang menganggap jurusan sastra atau bahasa tidak lebih dari jurusan kelas dua yang perkuliahannya mudah dan punya peluang besar untuk mendapatkan Indeks Prestasi tiga koma setiap semesternya. Saya juga tahu mereka bertanya-tanya, apa pekerjaan yang bisa didapatkan oleh seorang lulusan sastra? Saya juga tahu mereka menganggap jurusan ini di bawah jurusan seperti psikologi, HI, manajemen, akuntansi atau teknik. Saya bisa melihat anggapan itu dari mata mereka, walaupun mereka tidak mengatakan apapun pada saya. Dan seandainya mereka tahu bahwa saya ingin sekali membuka mata dan telinga mereka lebar-lebar bahwa kuliah sastra sama sekali jauh dari kata mudah. Sejujurnya saya juga bahkan tidak yakin, apakah orang yang mengambil jurusan-jurusan di atas tadi bisa mengikuti proses kuliah bahasa Jerman seperti yang sudah saya dan teman-teman saya lalui selama ini? Karena pengalaman saya selama 2, 5 tahun kuliah di sini telah membuktikan bahwa teori ‘survival of the fittest’ Darwin benar-benar berlaku, khususnya di jurusan saya.

Saya nggak bilang kalau orang-orang yang kuliah di jurusan psikologi, manajemen, HI, dll itu bodoh. Sama sekali tidak ada anggapan macam itu di kepala saya. Hanya saja saya ingin orang-orang yang memandang sebelah mata pada mahasiswa sastra, juga orang-orang yang mungkin tanpa sengaja membaca postingan blog ini mengerti bahwa jurusan sastra—seperti juga jurusan lain—bukanlah jurusan yang bisa dimasuki oleh sembarangan orang. Karena jurusan sastra punya tingkat kesulitan yang belum tentu bisa di-handle oleh semua orang. Orang yang tidak mampu bertahan, tidak mampu menyesuaikan diri dengan ‘medan tempur’ dipastikan akan segera gugur. Dan hanya orang-orang pilihan yang bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu di jurusan sastra.

Dengan semua itu, apakah jurusan sastra masih pantas disebut jurusan kelas dua?

0 comments:

Post a Comment