Saya selalu suka membaca novel Lukisan Hujan karya Sitta Karina. Padahal novel ini bergenre teenlit dan saya baru membacanya kala saya akan memasuki semester 5 di kampus, which means saya agak ketuaan untuk baca novel ini. However, faktor umur yang udah nggak sinkron lagi ini toh tidak menghalangi saya untuk menikmati kisah Diaz Hanafiah dan Sisy Iswandaryo yang diceritakan dengan manisnya oleh Sitta Karina (you can’t imagine how her works inspire me to keep writing!). Dan saya harus mengakui, Diaz Hanafiah is awfully alluring! Semua yang pernah membaca Lukisan Hujan pasti tahu bahwa karakter Diaz adalah karakter laki-laki yang menjadi impian banyak cewek di permukaan bumi ini. Ganteng, pintar, heroik, cool, tidak sok tahu dan tetap humble walaupun keluarga besarnya merupakan keluarga konglomerat terkenal di Indonesia.
Tapi satu hal yang membuat saya bersimpati pada karakter ini adalah karena ada satu sisi dari karakter ini yang sedikit mengingatkan saya akan apa yang selama ini saya cari—dan kebetulan dicari pula oleh Diaz. A place to fit in. Walaupun berasal dari keluarga konglomerat, namun Diaz, kedua orang tua dan kakaknya memutuskan untuk hidup sebagai ‘orang biasa’ dan tidak menjadi bagian dari golongan socialite seperti sepupu-sepupunya yang lain. Rasa minder yang terkadang menggerogoti Diaz membentuk kepribadian Diaz yang introvert, kaku dan workaholic agar bisa mendapat pengakuan dari orang lain bukan karena dia berasal dari keluarga besar yang terpandang, namun karena dia mempunyai kompetensi yang tidak sembarangan. Rasa minder itu membuat Diaz akhirnya mencari sebuah tempat yang tepat, yang bisa menerima dia apa adanya, dan mampu menghargai dia tanpa atribut keluarga besarnya.
Saya—anehnya—mencari hal yang sama. Selama ini saya bertemu dengan banyak orang, mengalami banyak peristiwa yang secara tidak langsung menempa kepribadian saya seperti yang sekarang ini: a bitter realistic, an imaginative day-dreamer, an observant geek. Saya bangga dengan diri saya, itu jelas. Tapi sejujurnya saya harus mengakui bahwa ada saat-saat tertentu di mana saya merasa minder dan merasa diri saya inkompeten dalam bidang apapun. Ada kalanya saya merasa saya tidak mampu menjadi ‘seseorang’, dalam artian seseorang yang mempunyai hal yang spesial dalam dirinya. Sudah sering saya mencoba menunjukkan pada dunia bahwa saya pun punya sesuatu yang istimewa dari diri saya, namun terkadang saya lelah dan berpikir untuk menjadi pribadi yang plain, yang selama ini terlihat di luar. Tak jarang saya bertanya sendiri, apakah belum cukup yang saya lakukan selama ini sehingga orang-orang tidak bisa melihat bahwa saya pun bisa menjadi ‘seseorang’ yang dapat diterima?
Saya tahu, perjalanan saya masih terlalu panjang. Kepribadian saya akan terus ditempa oleh peristiwa dan tantangan yang datang di hidup saya. Saya juga sadar tidak semua orang dapat menerima proses yang tengah saya jalani ini, namun pengalaman saya sudah mengarahkan saya untuk menutup telinga dari tudingan sumir yang mungkin pernah diucapkan orang-orang di sekitar saya dan menganggap bahwa mereka tidak mengenal saya dengan baik, sehingga memiliki impresi yang salah terhadap saya. Yang bisa saya lakukan—seperti yang pernah diberitahu oleh teman saya—adalah melanjutkan hidup dan membuktikan bahwa apa yang mungkin ‘ditudingkan’ pada saya tidak benar. Yang bisa saya lakukan adalah melangkah dengan elegan untuk terus mencoba untuk menunjukkan siapa diri saya yang sebenarnya ke dunia, sekaligus terus mencoba menjadikan diri saya sebagai a better person, mengingat saya memiliki terlalu banyak kekurangan yang saya harap bisa terkikis seiring berjalannya waktu nanti.
“I’m only a man in a funny red sheet, looking for special thing inside of me…” (Superman-Five for Fighting).
Tapi satu hal yang membuat saya bersimpati pada karakter ini adalah karena ada satu sisi dari karakter ini yang sedikit mengingatkan saya akan apa yang selama ini saya cari—dan kebetulan dicari pula oleh Diaz. A place to fit in. Walaupun berasal dari keluarga konglomerat, namun Diaz, kedua orang tua dan kakaknya memutuskan untuk hidup sebagai ‘orang biasa’ dan tidak menjadi bagian dari golongan socialite seperti sepupu-sepupunya yang lain. Rasa minder yang terkadang menggerogoti Diaz membentuk kepribadian Diaz yang introvert, kaku dan workaholic agar bisa mendapat pengakuan dari orang lain bukan karena dia berasal dari keluarga besar yang terpandang, namun karena dia mempunyai kompetensi yang tidak sembarangan. Rasa minder itu membuat Diaz akhirnya mencari sebuah tempat yang tepat, yang bisa menerima dia apa adanya, dan mampu menghargai dia tanpa atribut keluarga besarnya.
Saya—anehnya—mencari hal yang sama. Selama ini saya bertemu dengan banyak orang, mengalami banyak peristiwa yang secara tidak langsung menempa kepribadian saya seperti yang sekarang ini: a bitter realistic, an imaginative day-dreamer, an observant geek. Saya bangga dengan diri saya, itu jelas. Tapi sejujurnya saya harus mengakui bahwa ada saat-saat tertentu di mana saya merasa minder dan merasa diri saya inkompeten dalam bidang apapun. Ada kalanya saya merasa saya tidak mampu menjadi ‘seseorang’, dalam artian seseorang yang mempunyai hal yang spesial dalam dirinya. Sudah sering saya mencoba menunjukkan pada dunia bahwa saya pun punya sesuatu yang istimewa dari diri saya, namun terkadang saya lelah dan berpikir untuk menjadi pribadi yang plain, yang selama ini terlihat di luar. Tak jarang saya bertanya sendiri, apakah belum cukup yang saya lakukan selama ini sehingga orang-orang tidak bisa melihat bahwa saya pun bisa menjadi ‘seseorang’ yang dapat diterima?
Saya tahu, perjalanan saya masih terlalu panjang. Kepribadian saya akan terus ditempa oleh peristiwa dan tantangan yang datang di hidup saya. Saya juga sadar tidak semua orang dapat menerima proses yang tengah saya jalani ini, namun pengalaman saya sudah mengarahkan saya untuk menutup telinga dari tudingan sumir yang mungkin pernah diucapkan orang-orang di sekitar saya dan menganggap bahwa mereka tidak mengenal saya dengan baik, sehingga memiliki impresi yang salah terhadap saya. Yang bisa saya lakukan—seperti yang pernah diberitahu oleh teman saya—adalah melanjutkan hidup dan membuktikan bahwa apa yang mungkin ‘ditudingkan’ pada saya tidak benar. Yang bisa saya lakukan adalah melangkah dengan elegan untuk terus mencoba untuk menunjukkan siapa diri saya yang sebenarnya ke dunia, sekaligus terus mencoba menjadikan diri saya sebagai a better person, mengingat saya memiliki terlalu banyak kekurangan yang saya harap bisa terkikis seiring berjalannya waktu nanti.
“I’m only a man in a funny red sheet, looking for special thing inside of me…” (Superman-Five for Fighting).
0 comments:
Post a Comment