Sekitar seminggu lalu saya menonton berita di stasiun televisi swasta yang menayangkan tentang seorang anak laki-laki (namun maaf, saya lupa berapa umurnya) yang tengah dirawat di rumah sakit karena terjangkit virus HIV/AIDS. Dan Sabtu (24/01) ini, di program berita yang sama, saya mendapati bahwa anak laki-laki ini meninggal setelah cukup lama bergulat dengan sakitnya. Dan dari program serupa di stasiun televisi lain, saya mendapati bahwa anak ini dimakamkan di sebelah makam kedua orangtuanya yang terlebih dahulu meninggal karena terjangkit virus yang sama. Ayahnya meninggal terlebih dahulu pada tahun 2006, dan ibunya meninggal akhir 2009 lalu. Praktis, selama sisa hidupnya, anak laki-laki ini hanya tinggal bersama sanak keluarganya yang lain hingga akhir hayatnya.
Mendengar cerita tentang anak ini, sejujurnya sangat mengusik nurani saya. Tidak, saya tidak akan tega untuk menuding almarhum ayah dan/atau almarhumah ibunya melakukan tindakan yang membuat diri mereka terjangkit virus HIV dan menulari anak mereka yang bahkan tidak tahu apa-apa. Yang lebih mengetuk hati saya adalah menyaksikan kasus anak laki-laki ini, saya tiba-tiba teringat perkataan seorang guru mata pelajaran Biologi semasa kelas X (kelas 1 SMA), kira-kira 4 atau 5 tahun lalu. Saat itu kami memang tengah membahas beberapa jenis penyakit menular yang berbahaya, dan salah satunya adalah AIDS yang disebabkan oleh virus HIV. Bukannya bermaksud sombong, sebelumnya saya sudah sering membaca mengenai apa bedanya HIV dan AIDS, bagaimana cara virus HIV/AIDS menular, cara-cara mencegah penularan virus ini, serta mitos-mitos mengenai cara penularan virus HIV/AIDS yang salah kaprah. Nah... yang menjadi masalah adalah guru saya ini, entah apa sebabnya, memberi penjelasan pada kami semua mengenai cara penularan HIV/AIDS dan di mata saya, penjelasan tersebut sangat salah kaprah dan menyudutkan semua penderitanya. Yang paling tidak bisa saya terima dan tidak bisa saya lupakan sampai sekarang adalah ketika sampai pada poin penularan HIV/AIDS melalui transfusi darah. Guru saya memberikan gambaran mengenai poin ini, dengan kalimat: “Ya, kita nggak tahu kan, bisa aja mungkin ada penderita HIV/AIDS yang depresi trus berpikir ‘saya ingin orang lain bernasib seperti saya’, trus dia nyuntikin darahnya ke kantong-kantong darah, jadinya ada orang lain ketularan,”
Jujur saja saya marah sekali mendengar statement guru saya. Pertama, kata-katanya menunjukkan bahwa dia tidak menguasai materi atau hal-hal penting berkaitan dengan HIV/AIDS. Kedua, saya merasa statement yang dia keluarkan sebagai seorang guru kepada murid itu sangat membodohi. Ketiga, statement tersebut amat sangat menyudutkan penderita HIV/AIDS. Saya belum pernah bertemu dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) manapun, namun saya berani bertaruh apa saja, tidak akan ada satupun dari mereka yang mau menerima statement yang sama sekali tidak mengandung esensi rasa empati tersebut. Belum cukup, guru saya tersebut mengatakan untuk menghindari AIDS, ‘kita harus kembali ke moral’. Oh my, kenapa sih semua ODHA dipukul rata sebagai orang tidak bermoral? Sejak kapan patokan orang bermoral dan tidak bermoral diukur dari apakah dia ODHA atau bukan? Apa kalau orang bejat yang merampok, membunuh, dan menyusahkan orang lain tidak bisa disebut sebagai orang tidak bermoral? Dan apa esensi dari stigma-stigma negatif terhadap ODHA tersebut?
Saya tahu, banyak ODHA yang terjangkit virus ini karena perbuatan mereka sendiri. Tapi itu bukan alasan untuk kita yang masih diberi kesehatan oleh Sang Pemberi Kehidupan memberikan stigma atau nyukurin mereka kan? Maksud saya, hey, ayo kita sama-sama buka mata. Kita tidak berhak memberikan penilaian negatif atau mencemooh mereka hanya karena mereka adalah ODHA dan kita bukan. Apa tidak pernah terpikir bahwa dengan terpapar virus tersebut, mereka sudah mendapat hukuman dari Yang Maha Menghakimi? Buat apa kita menghukum mereka lagi, siapa kita dan kenapa kita berhak nyukurin mereka? Dan kalau, kalau seandainya SEMUA orang yang terjangkit HIV disebut sebagai ‘tidak bermoral’, lantas bagaimana nasib istri-istri yang terjangkit virus ini dari suami mereka? Bagaimana nasib bayi-bayi yang bahkan tidak memilih untuk ada, tertular virus ini dari ibu mereka? Apa istri-istri itu lantas dicap TIDAK BERMORAL, walaupun mereka selama ini menjadi istri yang setia pada suaminya serta menjadi sosok istri yang baik? Apa bayi-bayi itu lantas dituding AMORAL, walaupun mereka bahkan tidak tahu bagaimana virus tersebut bisa ngendon di tubuh mereka? Saya bukan aktivis dari LSM sosial manapun, saya hanya seorang mahasiswi yang selama ini menyaksikan sendiri bahwa masih banyak orang yang tidak mengerti namun merasa mengerti tentang HIV/AIDS dan ODHA lalu seenaknya mengeluarkan stigma-stigma negatif hanya karena mereka memandang isu ini dengan kacamata kuda dan sistem pukul rata (‘pokoknya orang yang kena HIV pasti tidak bermoral!’) tadi. Dan sedih memang, karena salah satu orang yang memakai ‘kacamata kuda’ tadi adalah seorang guru yang harusnya memberi input yang benar dan tepat sasaran pada muridnya. Menyedihkan.
(untuk anak laki-laki di berita, terima kasih karena kamu menginspirasi saya untuk menggali kembali tema ini di benak saya setelah sekian lama terpendam di salah satu sekat pikiran saya. Semoga kamu dan kedua orangtuamu mendapat tempat yang layak di sisi Sang Khalik. Amin)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
membaca ini, jujur, aku terbawa suasana. Saya sangat setuju dengan pemikiran kakak (i'm still 14).
Rasanya begitu langka bisa menemukan guru yang berkualitas. Sebenarnya, itulah yang menjadi permasalahan negara saat ini.
Contohnya, seperti apa yang kakak tuliskan disini.
Like this post so much..! (:
Post a Comment