Sekitar seminggu lalu saya menonton berita di stasiun televisi swasta yang menayangkan tentang seorang anak laki-laki (namun maaf, saya lupa berapa umurnya) yang tengah dirawat di rumah sakit karena terjangkit virus HIV/AIDS. Dan Sabtu (24/01) ini, di program berita yang sama, saya mendapati bahwa anak laki-laki ini meninggal setelah cukup lama bergulat dengan sakitnya. Dan dari program serupa di stasiun televisi lain, saya mendapati bahwa anak ini dimakamkan di sebelah makam kedua orangtuanya yang terlebih dahulu meninggal karena terjangkit virus yang sama. Ayahnya meninggal terlebih dahulu pada tahun 2006, dan ibunya meninggal akhir 2009 lalu. Praktis, selama sisa hidupnya, anak laki-laki ini hanya tinggal bersama sanak keluarganya yang lain hingga akhir hayatnya.
Mendengar cerita tentang anak ini, sejujurnya sangat mengusik nurani saya. Tidak, saya tidak akan tega untuk menuding almarhum ayah dan/atau almarhumah ibunya melakukan tindakan yang membuat diri mereka terjangkit virus HIV dan menulari anak mereka yang bahkan tidak tahu apa-apa. Yang lebih mengetuk hati saya adalah menyaksikan kasus anak laki-laki ini, saya tiba-tiba teringat perkataan seorang guru mata pelajaran Biologi semasa kelas X (kelas 1 SMA), kira-kira 4 atau 5 tahun lalu. Saat itu kami memang tengah membahas beberapa jenis penyakit menular yang berbahaya, dan salah satunya adalah AIDS yang disebabkan oleh virus HIV. Bukannya bermaksud sombong, sebelumnya saya sudah sering membaca mengenai apa bedanya HIV dan AIDS, bagaimana cara virus HIV/AIDS menular, cara-cara mencegah penularan virus ini, serta mitos-mitos mengenai cara penularan virus HIV/AIDS yang salah kaprah. Nah... yang menjadi masalah adalah guru saya ini, entah apa sebabnya, memberi penjelasan pada kami semua mengenai cara penularan HIV/AIDS dan di mata saya, penjelasan tersebut sangat salah kaprah dan menyudutkan semua penderitanya. Yang paling tidak bisa saya terima dan tidak bisa saya lupakan sampai sekarang adalah ketika sampai pada poin penularan HIV/AIDS melalui transfusi darah. Guru saya memberikan gambaran mengenai poin ini, dengan kalimat: “Ya, kita nggak tahu kan, bisa aja mungkin ada penderita HIV/AIDS yang depresi trus berpikir ‘saya ingin orang lain bernasib seperti saya’, trus dia nyuntikin darahnya ke kantong-kantong darah, jadinya ada orang lain ketularan,”
Jujur saja saya marah sekali mendengar statement guru saya. Pertama, kata-katanya menunjukkan bahwa dia tidak menguasai materi atau hal-hal penting berkaitan dengan HIV/AIDS. Kedua, saya merasa statement yang dia keluarkan sebagai seorang guru kepada murid itu sangat membodohi. Ketiga, statement tersebut amat sangat menyudutkan penderita HIV/AIDS. Saya belum pernah bertemu dengan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) manapun, namun saya berani bertaruh apa saja, tidak akan ada satupun dari mereka yang mau menerima statement yang sama sekali tidak mengandung esensi rasa empati tersebut. Belum cukup, guru saya tersebut mengatakan untuk menghindari AIDS, ‘kita harus kembali ke moral’. Oh my, kenapa sih semua ODHA dipukul rata sebagai orang tidak bermoral? Sejak kapan patokan orang bermoral dan tidak bermoral diukur dari apakah dia ODHA atau bukan? Apa kalau orang bejat yang merampok, membunuh, dan menyusahkan orang lain tidak bisa disebut sebagai orang tidak bermoral? Dan apa esensi dari stigma-stigma negatif terhadap ODHA tersebut?
Saya tahu, banyak ODHA yang terjangkit virus ini karena perbuatan mereka sendiri. Tapi itu bukan alasan untuk kita yang masih diberi kesehatan oleh Sang Pemberi Kehidupan memberikan stigma atau nyukurin mereka kan? Maksud saya, hey, ayo kita sama-sama buka mata. Kita tidak berhak memberikan penilaian negatif atau mencemooh mereka hanya karena mereka adalah ODHA dan kita bukan. Apa tidak pernah terpikir bahwa dengan terpapar virus tersebut, mereka sudah mendapat hukuman dari Yang Maha Menghakimi? Buat apa kita menghukum mereka lagi, siapa kita dan kenapa kita berhak nyukurin mereka? Dan kalau, kalau seandainya SEMUA orang yang terjangkit HIV disebut sebagai ‘tidak bermoral’, lantas bagaimana nasib istri-istri yang terjangkit virus ini dari suami mereka? Bagaimana nasib bayi-bayi yang bahkan tidak memilih untuk ada, tertular virus ini dari ibu mereka? Apa istri-istri itu lantas dicap TIDAK BERMORAL, walaupun mereka selama ini menjadi istri yang setia pada suaminya serta menjadi sosok istri yang baik? Apa bayi-bayi itu lantas dituding AMORAL, walaupun mereka bahkan tidak tahu bagaimana virus tersebut bisa ngendon di tubuh mereka? Saya bukan aktivis dari LSM sosial manapun, saya hanya seorang mahasiswi yang selama ini menyaksikan sendiri bahwa masih banyak orang yang tidak mengerti namun merasa mengerti tentang HIV/AIDS dan ODHA lalu seenaknya mengeluarkan stigma-stigma negatif hanya karena mereka memandang isu ini dengan kacamata kuda dan sistem pukul rata (‘pokoknya orang yang kena HIV pasti tidak bermoral!’) tadi. Dan sedih memang, karena salah satu orang yang memakai ‘kacamata kuda’ tadi adalah seorang guru yang harusnya memberi input yang benar dan tepat sasaran pada muridnya. Menyedihkan.
(untuk anak laki-laki di berita, terima kasih karena kamu menginspirasi saya untuk menggali kembali tema ini di benak saya setelah sekian lama terpendam di salah satu sekat pikiran saya. Semoga kamu dan kedua orangtuamu mendapat tempat yang layak di sisi Sang Khalik. Amin)
Saya bukan penggemar film horor. Setelah menonton Jelangkung di televisi swasta serta Kuntilanak di bioskop, saya bahkan mengalami susah tidur selama beberapa hari. Sifat penakut saya ini yang akhirnya membuat saya menghindari menonton film horor di bioskop selama ini. Keemohan saya makin bertambah setelah menjamurnya film horor yang menampilkan wanita seksi berpakaian minim, karena sebagai seorang perempuan saya tidak akan mendukung film horor, atau film apapun, yang sebagian atau keseluruhan kontennya mengeksploitasi perempuan.
Lalu datang Rumah Dara. Sebuah film horor/thriller muncul menawarkan sesuatu yang berbeda di tengah sesaknya bioskop Indonesia oleh film ‘horor’ yang penuh dengan segala jenis hantu, setan, mahluk halus, siluman dan wanita berpakaian minim. The Mo Brothers (Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto) sebagai sutradara tidak ikut terhanyut dalam efek domino sineas Indonesia yang ramai-ramai mengulik segala macam jenis hantu, melainkan menciptakan horor versi mereka sendiri, yaitu horor yang datang dari sosok bernama Ibu Dara, serta ketiga anaknya: Adam, Arman dan Maya. Film yang merupakan lanjutan dari film pendek Dara (merupakan bagian dari antologi horor Takut) ini menampilkan teror yang tetap mampu membuat penonton tercekam dan mengkeret ketakutan di kursi bioskop dengan sajian darah, potongan tubuh, teriakan histeris para korban, serta raut wajah dingin Ibu Dara dan ketiga anaknya saat menghabisi korban. Tingkah Ibu Dara, Adam, Arman dan Maya seolah ingin menunjukkan bahwa horor tidak hanya ditemukan pada sosok mahluk halus penunggu tempat-tempat tertentu, melainkan juga ada pada sosok manusia.
Dari segi pemain, kredit tertinggi jelas patut diberikan pada Shareefa Daanish yang memerankan Ibu Dara. Dengan signature berupa gestur, tatapan mata yang tajam menusuk, tone suara berat, dan keramahan menjamu pengunjung rumahnya, tidak akan ada yang menyangka bahwa sosok Ibu Dara yang dari luar nampak keibuan ini dapat berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin yang dapat menghabisi korbannya dengan raut datar seolah tindakannya merupakan kegiatan sehari-hari untuknya. Dan semua itu dimainkan Shareefa Daanish seolah-olah dia dan Ibu Dara adalah sosok yang sama dan tidak ada orang lain yang bisa memerankan Ibu Dara selain dia, menjadikan Ibu Dara sebagai sosok villain terbaik di film Indonesia yang pernah saya lihat! Saya juga salut dengan Arifin Putra yang dalam film ini membuang jauh-jauh image bintang film remaja yang ganteng dan digilai banyak ABG, karena dalam film ini ia telah bertransformasi menjadi mesin pembunuh bernama Adam! Saya nggak akan bercerita banyak tentang tingkah laku Adam di film ini karena hanya akan berujung ke spoiler, namun saya bisa mengatakan bahwa sosok Adam yang kalem cenderung misterius ini dipastikan akan membuat cewek manapun akan ketakutan kalau bertemu dengannya. Saya sempat membaca di sebuah majalah remaja bahwa sosok Adam dalam film ini akan sedikit mengingatkan penonton pada ‘hottie of the universe’ bernama Edward Cullen, namun setelah menyaksikan film ini saya mendapati bahwa Adam bahkan lebih maskulin dibandingkan Edward. Dua saudara Adam, Arman dan Maya juga ditampilkan dengan gaya masing-masing yang khas; Arman yang tidak pernah bicara dan raut wajah tanpa ekspresi (baca: tanpa perasaan) bahkan ketika tengah membantai korban di ‘ruang kerja’nya, sementara Maya yang persuasif, menggoda dan menimbulkan simpati, bisa seketika berubah menjadi pembunuh brutal yang mahir menggunakan pisau dan panah dan akan menyadarkan laki-laki manapun bahwa menggoda Maya adalah sebuah kesalahan besar.
Dari kubu protagonis? Tidak jauh beda. Julie Estelle sebagai Ladya dalam film ini seolah mengukuhkan dirinya sebagai spesialis pemeran perempuan tangguh seperti yang telah ia tunjukkan dalam trilogi Kuntilanak. Namun ketika tensi mulai menaik dan semua tokoh diharuskan memutar otak untuk keluar dari rumah Dara, sosok Ladya tidak lantas menjadi sosok ‘berusaha laki-laki’ ala sinetron yang mengatasi semua masalah sendirian dengan wajah yang cool dan muka tetap dicantik-cantikkan walaupun dari ujung kepala sampai ujung kaki berlumuran darah yang membanjiri rumah tersebut, melainkan tetap sebagai manusia yang bisa histeris, menangis dan membutuhkan sosok a shoulder to cry on di tengah kepanikannya. Ario Bayu memainkan karakter Adjie, kakak Ladya (walaupun sejujurnya saya sempat tertawa kecil dan bertanya-tanya, di mana miripnya Adjie dan Ladya?) menjadi sosok kakak yang kalem dan kebapakan, serta tetap berusaha ngemong ke Ladya walaupun hubungan mereka sudah lama memburuk dan ehm, sosok suami yang ganteng tentunya (oh well, nggak penting juga kali ya, hahaha). Sigi Wimala memainkan istri Adjie, Astrid, yang merupakan sosok ibu hamil paling malang yang pernah saya lihat. Bagaimana tidak, dalam kondisi hamil besar dan bahkan tengah menunggu waktu untuk melahirkan, ia terjebak di rumah berpenghuni empat orang gila yang salah satunya mengincar bayi dalam kandungannya dan saat berusaha kabur, ia justru mengalami hal paling tidak disangka-sangka oleh hampir semua orang yang ada di situ. Daniel Mananta, Mike Lucock dan Dendy Subangil masing-masing memerankan Jimmy, Alam dan Eko, tiga sahabat Adjie yang menjadi tim ‘hore’ dalam geng protagonis, bahkan di saat kritis sekalipun, tingkah mereka yang gedubrakan membuat saya tercabik antara ketakutan dan ingin tertawa. Khusus untuk Eko, interaksinya dengan Maya membuat saya semakin percaya bahwa kelemahan terbesar laki-laki terletak pada perempuan! Anyhow, walaupun keenam tokoh ini diperkenalkan secara singkat lewat dialog-dialog pendek di awal film, namun mereka dengan cepat mengundang simpati penonton saat harus berlarian menghindari Dara dan ketiga anaknya.
Rumah Dara yang sebelum ditayangkan di sini sudah melanglang buana ke berbagai festival film internasional ini dengan brilian menampilkan ‘paket komplet’ sebuah film horor: casting yang tepat, make-up realistis, scoring pembangun suasana yang membuat stres, dan plot cerita yang ringan namun tidak mengada-ada ataupun sok tahu. Cipratan darah di lantai, dinding, bahkan sampai ke lensa kamera, organ tubuh yang lepas, make-up babak belur berlumuran darah yang natural menjadi magnet sekaligus teror utama dalam film ini. Seolah belum cukup, scoring film ini menambah tingkat stres penonton, apalagi ketika lagu keroncong Cinta Matiku karya Zeke Khaseli mengalun syahdu namun membangkitkan bulu roma, sukses membuat penonton bertanya: kira-kira siapa lagi yang akan mati dan bagaimana matinya?
Di balik cipratan darah yang menggenangi Rumah Dara, film ini menawarkan sebuah cerita yang simple dan tidak menuntut penonton untuk berpikir terlalu berat. Dan film ini dengan cerdas dan tidak berbelit-belit mengungkapkan alasan mengapa Dara dan ketiga anaknya menawan Ladya dkk. di rumahnya serta berusaha membunuh mereka dengan cara sedemikian sadis, selain faktor bahwa Dara, Adam, Arman dan Maya adalah sosok-sosok psycho yang menganggap membunuh seseorang adalah sebuah hiburan tersendiri.
Walaupun memiliki banyak nilai plus, tentu film ini juga memiliki beberapa kekurangan. Saya agak terganggu dengan adegan saat Ladya dkk. pertama kali bertemu Maya di tengah hujan. Sebenarnya kalau jeli, kita akan menemukan bahwa Maya pun ada di bar tempat Ladya bekerja saat Adjie, Astrid dan ketiga sahabat mereka singgah menjemput Ladya. Namun mengapa dari sekian banyak pengunjung bar, Maya memilih untuk menjerat sekumpulan sahabat ini sebagai mangsa? Yang agak mengganjal juga bagi saya adalah foto-foto Dara dan ketiga anaknya, serta tahun yang tertera di balik foto itu. Apa orang di foto dengan orang yang ada di film ini orang yang sama? Mungkinkah hal ini pertanda bahwa akan ada sekuel yang mungkin bisa menjelaskan tentang masalah foto ini? Ada juga beberapa hal lain yang agak aneh, seperti rompi bertuliskan POLISI yang dipakai salah satu anak buah Letnan Syarief. Attitude polisi yang kok sepertinya bisa-bisanya dikadalin oleh Dara dan ketiga anaknya. Adegan akhir yang sejujurnya agak klise untuk saya. Well, tapi dengan segala kekurangan dan kelebihan film ini, Rumah Dara sebagai film slasher pertama di Indonesia telah berhasil membawa sebuah angin segar bagi perfilman Indonesia, terutama di kancah film horor. Saya sebagai penikmat film berterimakasih pada The Mo Brothers yang telah membawakan sebuah film brilian yang sangat menghibur untuk Indonesia, sekaligus membangkitkan kembali optimisme bahwa di Indonesia masih ada film horor bertanggung jawab yang tidak melibatkan hantu dan sensualisme. Last but not least, semua pencinta film dan yang peduli terhadap perfilman Indonesia sangat disarankan untuk menyaksikan film ini, karena dijamin nggak akan nyesel! Sekedar tips dari saya kalau mau menonton film ini, pastikan bahwa Anda punya jantung yang benar-benar sehat dan kuat, serta mental sekeras baja. Jangan lupa untuk membawa air minum karena Anda pasti akan seret setelah berteriak-teriak sepanjang film, dan jangan membawa makanan ke dalam bioskop karena nggak akan dimakan, either karena keasyikan nonton atau justru karena mual. Terakhir, jangan lupa buang air kecil sebelum nonton karena saya membaca di Twitter @RumahDaraFilm, ada seorang penonton yang ngompol karena menahan pipis :)
Anyhow, selamat menikmati sajian horor sesungguhnya dari Rumah Dara!
P.S: setelah nulis postingan ini, saya ngasih link-nya ke Twitter @RumahDaraFilm, dan ternyata sama pengelola accountnya review ini dibaca dan di-retweet sambil memberi komentar mengenai review saya. Alhamdulillah review saya dibilang bagus. Makasih Mo Brothers dan RumahDaraFilm! :D
Lalu datang Rumah Dara. Sebuah film horor/thriller muncul menawarkan sesuatu yang berbeda di tengah sesaknya bioskop Indonesia oleh film ‘horor’ yang penuh dengan segala jenis hantu, setan, mahluk halus, siluman dan wanita berpakaian minim. The Mo Brothers (Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto) sebagai sutradara tidak ikut terhanyut dalam efek domino sineas Indonesia yang ramai-ramai mengulik segala macam jenis hantu, melainkan menciptakan horor versi mereka sendiri, yaitu horor yang datang dari sosok bernama Ibu Dara, serta ketiga anaknya: Adam, Arman dan Maya. Film yang merupakan lanjutan dari film pendek Dara (merupakan bagian dari antologi horor Takut) ini menampilkan teror yang tetap mampu membuat penonton tercekam dan mengkeret ketakutan di kursi bioskop dengan sajian darah, potongan tubuh, teriakan histeris para korban, serta raut wajah dingin Ibu Dara dan ketiga anaknya saat menghabisi korban. Tingkah Ibu Dara, Adam, Arman dan Maya seolah ingin menunjukkan bahwa horor tidak hanya ditemukan pada sosok mahluk halus penunggu tempat-tempat tertentu, melainkan juga ada pada sosok manusia.
Dari segi pemain, kredit tertinggi jelas patut diberikan pada Shareefa Daanish yang memerankan Ibu Dara. Dengan signature berupa gestur, tatapan mata yang tajam menusuk, tone suara berat, dan keramahan menjamu pengunjung rumahnya, tidak akan ada yang menyangka bahwa sosok Ibu Dara yang dari luar nampak keibuan ini dapat berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin yang dapat menghabisi korbannya dengan raut datar seolah tindakannya merupakan kegiatan sehari-hari untuknya. Dan semua itu dimainkan Shareefa Daanish seolah-olah dia dan Ibu Dara adalah sosok yang sama dan tidak ada orang lain yang bisa memerankan Ibu Dara selain dia, menjadikan Ibu Dara sebagai sosok villain terbaik di film Indonesia yang pernah saya lihat! Saya juga salut dengan Arifin Putra yang dalam film ini membuang jauh-jauh image bintang film remaja yang ganteng dan digilai banyak ABG, karena dalam film ini ia telah bertransformasi menjadi mesin pembunuh bernama Adam! Saya nggak akan bercerita banyak tentang tingkah laku Adam di film ini karena hanya akan berujung ke spoiler, namun saya bisa mengatakan bahwa sosok Adam yang kalem cenderung misterius ini dipastikan akan membuat cewek manapun akan ketakutan kalau bertemu dengannya. Saya sempat membaca di sebuah majalah remaja bahwa sosok Adam dalam film ini akan sedikit mengingatkan penonton pada ‘hottie of the universe’ bernama Edward Cullen, namun setelah menyaksikan film ini saya mendapati bahwa Adam bahkan lebih maskulin dibandingkan Edward. Dua saudara Adam, Arman dan Maya juga ditampilkan dengan gaya masing-masing yang khas; Arman yang tidak pernah bicara dan raut wajah tanpa ekspresi (baca: tanpa perasaan) bahkan ketika tengah membantai korban di ‘ruang kerja’nya, sementara Maya yang persuasif, menggoda dan menimbulkan simpati, bisa seketika berubah menjadi pembunuh brutal yang mahir menggunakan pisau dan panah dan akan menyadarkan laki-laki manapun bahwa menggoda Maya adalah sebuah kesalahan besar.
Dari kubu protagonis? Tidak jauh beda. Julie Estelle sebagai Ladya dalam film ini seolah mengukuhkan dirinya sebagai spesialis pemeran perempuan tangguh seperti yang telah ia tunjukkan dalam trilogi Kuntilanak. Namun ketika tensi mulai menaik dan semua tokoh diharuskan memutar otak untuk keluar dari rumah Dara, sosok Ladya tidak lantas menjadi sosok ‘berusaha laki-laki’ ala sinetron yang mengatasi semua masalah sendirian dengan wajah yang cool dan muka tetap dicantik-cantikkan walaupun dari ujung kepala sampai ujung kaki berlumuran darah yang membanjiri rumah tersebut, melainkan tetap sebagai manusia yang bisa histeris, menangis dan membutuhkan sosok a shoulder to cry on di tengah kepanikannya. Ario Bayu memainkan karakter Adjie, kakak Ladya (walaupun sejujurnya saya sempat tertawa kecil dan bertanya-tanya, di mana miripnya Adjie dan Ladya?) menjadi sosok kakak yang kalem dan kebapakan, serta tetap berusaha ngemong ke Ladya walaupun hubungan mereka sudah lama memburuk dan ehm, sosok suami yang ganteng tentunya (oh well, nggak penting juga kali ya, hahaha). Sigi Wimala memainkan istri Adjie, Astrid, yang merupakan sosok ibu hamil paling malang yang pernah saya lihat. Bagaimana tidak, dalam kondisi hamil besar dan bahkan tengah menunggu waktu untuk melahirkan, ia terjebak di rumah berpenghuni empat orang gila yang salah satunya mengincar bayi dalam kandungannya dan saat berusaha kabur, ia justru mengalami hal paling tidak disangka-sangka oleh hampir semua orang yang ada di situ. Daniel Mananta, Mike Lucock dan Dendy Subangil masing-masing memerankan Jimmy, Alam dan Eko, tiga sahabat Adjie yang menjadi tim ‘hore’ dalam geng protagonis, bahkan di saat kritis sekalipun, tingkah mereka yang gedubrakan membuat saya tercabik antara ketakutan dan ingin tertawa. Khusus untuk Eko, interaksinya dengan Maya membuat saya semakin percaya bahwa kelemahan terbesar laki-laki terletak pada perempuan! Anyhow, walaupun keenam tokoh ini diperkenalkan secara singkat lewat dialog-dialog pendek di awal film, namun mereka dengan cepat mengundang simpati penonton saat harus berlarian menghindari Dara dan ketiga anaknya.
Rumah Dara yang sebelum ditayangkan di sini sudah melanglang buana ke berbagai festival film internasional ini dengan brilian menampilkan ‘paket komplet’ sebuah film horor: casting yang tepat, make-up realistis, scoring pembangun suasana yang membuat stres, dan plot cerita yang ringan namun tidak mengada-ada ataupun sok tahu. Cipratan darah di lantai, dinding, bahkan sampai ke lensa kamera, organ tubuh yang lepas, make-up babak belur berlumuran darah yang natural menjadi magnet sekaligus teror utama dalam film ini. Seolah belum cukup, scoring film ini menambah tingkat stres penonton, apalagi ketika lagu keroncong Cinta Matiku karya Zeke Khaseli mengalun syahdu namun membangkitkan bulu roma, sukses membuat penonton bertanya: kira-kira siapa lagi yang akan mati dan bagaimana matinya?
Di balik cipratan darah yang menggenangi Rumah Dara, film ini menawarkan sebuah cerita yang simple dan tidak menuntut penonton untuk berpikir terlalu berat. Dan film ini dengan cerdas dan tidak berbelit-belit mengungkapkan alasan mengapa Dara dan ketiga anaknya menawan Ladya dkk. di rumahnya serta berusaha membunuh mereka dengan cara sedemikian sadis, selain faktor bahwa Dara, Adam, Arman dan Maya adalah sosok-sosok psycho yang menganggap membunuh seseorang adalah sebuah hiburan tersendiri.
Walaupun memiliki banyak nilai plus, tentu film ini juga memiliki beberapa kekurangan. Saya agak terganggu dengan adegan saat Ladya dkk. pertama kali bertemu Maya di tengah hujan. Sebenarnya kalau jeli, kita akan menemukan bahwa Maya pun ada di bar tempat Ladya bekerja saat Adjie, Astrid dan ketiga sahabat mereka singgah menjemput Ladya. Namun mengapa dari sekian banyak pengunjung bar, Maya memilih untuk menjerat sekumpulan sahabat ini sebagai mangsa? Yang agak mengganjal juga bagi saya adalah foto-foto Dara dan ketiga anaknya, serta tahun yang tertera di balik foto itu. Apa orang di foto dengan orang yang ada di film ini orang yang sama? Mungkinkah hal ini pertanda bahwa akan ada sekuel yang mungkin bisa menjelaskan tentang masalah foto ini? Ada juga beberapa hal lain yang agak aneh, seperti rompi bertuliskan POLISI yang dipakai salah satu anak buah Letnan Syarief. Attitude polisi yang kok sepertinya bisa-bisanya dikadalin oleh Dara dan ketiga anaknya. Adegan akhir yang sejujurnya agak klise untuk saya. Well, tapi dengan segala kekurangan dan kelebihan film ini, Rumah Dara sebagai film slasher pertama di Indonesia telah berhasil membawa sebuah angin segar bagi perfilman Indonesia, terutama di kancah film horor. Saya sebagai penikmat film berterimakasih pada The Mo Brothers yang telah membawakan sebuah film brilian yang sangat menghibur untuk Indonesia, sekaligus membangkitkan kembali optimisme bahwa di Indonesia masih ada film horor bertanggung jawab yang tidak melibatkan hantu dan sensualisme. Last but not least, semua pencinta film dan yang peduli terhadap perfilman Indonesia sangat disarankan untuk menyaksikan film ini, karena dijamin nggak akan nyesel! Sekedar tips dari saya kalau mau menonton film ini, pastikan bahwa Anda punya jantung yang benar-benar sehat dan kuat, serta mental sekeras baja. Jangan lupa untuk membawa air minum karena Anda pasti akan seret setelah berteriak-teriak sepanjang film, dan jangan membawa makanan ke dalam bioskop karena nggak akan dimakan, either karena keasyikan nonton atau justru karena mual. Terakhir, jangan lupa buang air kecil sebelum nonton karena saya membaca di Twitter @RumahDaraFilm, ada seorang penonton yang ngompol karena menahan pipis :)
Anyhow, selamat menikmati sajian horor sesungguhnya dari Rumah Dara!
P.S: setelah nulis postingan ini, saya ngasih link-nya ke Twitter @RumahDaraFilm, dan ternyata sama pengelola accountnya review ini dibaca dan di-retweet sambil memberi komentar mengenai review saya. Alhamdulillah review saya dibilang bagus. Makasih Mo Brothers dan RumahDaraFilm! :D
Hari ini gue iseng-iseng buka blog temen gue yang bernama A Cup of Tea, trus nemu satu postingan menarik. Isinya kaya personality info dari web http://www.mypersonality.info/. iseng gue coba dan inilah hasilnya:
ISTP - The "Craftsman" Jungian Personality Types (Free Test)
ISTPs are adventurous and independent. They like to figure out how things work. They have great mechanical and technical skills. They live in the "here and now" which makes them adaptable and spontaneous. They like to keep busy and are action-oriented. ISTPs thrive on new and exciting situations.
Famous ISTPs
Real ISTP People
Alan Shepherd - astronaut
Antony Worrall Thompson - British celebrity chef
Bruce Lee - martial artist, actor
Burt Reynolds - actor
Charles Bronson - actor
Chuck Yeager - U.S. Air Force officer
Clint Eastwood - actor and director
Frank Zappa - guitarist
James Dean - actor
John Malkovich - actor
Judy Finnigan - British TV star
Katharine Hepburn - actress
Keith Richards - English guitarist/singer
Michael Jordan - athelete (basketball, baseball)
Robin Cook - British politician
Tom Cruise - actor
Zachary Taylor - American President
Fictional ISTPs (Characters)
Archibald "Harry" Tuttle - Brazil movie
Blondie - The Good, the Bad and the Ugly
Boba Fett - Star Wars
Brett - Alien
Butch Coolidge - Pulp Fiction
Elvira Hancock - Scarface
Han Solo - Star Wars
Hedda Gabler - Hedda Gabler play (Ibsen)
John Milner - American Grafitti
Maggie Fitzgerald - Million Dollar Baby
Verna - Miller's Crossing
ISTP Career Matches
ISTPs are often happy with the following jobs which tend to match well with the Craftsman/Creator personality.
Athlete
Business Analyst
Computer Specialist
Construction Worker
Computer Programmer
Carpenter
Driver
Detective
Dental Hygienist
Engineer
Entrepreneur
Electrical Engineer
Forensic Pathologist
Farmer
Firefighter
Human Resources
Marketer
Motorcyclist
Military
Mechanic
Project Manager
Police
Probation Officer
Pilot
Paramedic/EMT
Steelworker
Systems Analyst
Scientist
Sales Representative
Transportation Operative
Technical Specialist
Selain itu gue juga ngambil tes ini:
Verbal/Linguistic 85%
Interpersonal 45%
Intrapersonal 45%
Logical/Mathematical 30%
Bodily/Kinesthetic 30%
Musical 20%
Visual/Spatial 20%
Naturalist 10%
Verbal/Linguistic Intelligence Multiple Intelligences (Free Test)
People with Linguistic intelligence love and are talented with words. They enjoy reading, writing and learning languages. They have an ability to teach and explain things to others. They learn best by reading, taking notes and going to lectures.
Common Characteristics
Notices grammatical mistakes
Often speaks of what they have read
Likes to use "fancy" words
Loves word games
Cherishes their book collection
Easily remembers quotes and famous sayings
Likes puns and rhymes
Enjoys writing
Enjoys foreign language
Always enjoyed English class
Career Matches
Writer (any type)
Editor
Public Speaker
Politician
Preacher
Teacher
Journalist
Broadcaster
English / Writing Tutor
Actor / Actress
ISTP - The "Craftsman" Jungian Personality Types (Free Test)
ISTPs are adventurous and independent. They like to figure out how things work. They have great mechanical and technical skills. They live in the "here and now" which makes them adaptable and spontaneous. They like to keep busy and are action-oriented. ISTPs thrive on new and exciting situations.
Famous ISTPs
Real ISTP People
Alan Shepherd - astronaut
Antony Worrall Thompson - British celebrity chef
Bruce Lee - martial artist, actor
Burt Reynolds - actor
Charles Bronson - actor
Chuck Yeager - U.S. Air Force officer
Clint Eastwood - actor and director
Frank Zappa - guitarist
James Dean - actor
John Malkovich - actor
Judy Finnigan - British TV star
Katharine Hepburn - actress
Keith Richards - English guitarist/singer
Michael Jordan - athelete (basketball, baseball)
Robin Cook - British politician
Tom Cruise - actor
Zachary Taylor - American President
Fictional ISTPs (Characters)
Archibald "Harry" Tuttle - Brazil movie
Blondie - The Good, the Bad and the Ugly
Boba Fett - Star Wars
Brett - Alien
Butch Coolidge - Pulp Fiction
Elvira Hancock - Scarface
Han Solo - Star Wars
Hedda Gabler - Hedda Gabler play (Ibsen)
John Milner - American Grafitti
Maggie Fitzgerald - Million Dollar Baby
Verna - Miller's Crossing
ISTP Career Matches
ISTPs are often happy with the following jobs which tend to match well with the Craftsman/Creator personality.
Athlete
Business Analyst
Computer Specialist
Construction Worker
Computer Programmer
Carpenter
Driver
Detective
Dental Hygienist
Engineer
Entrepreneur
Electrical Engineer
Forensic Pathologist
Farmer
Firefighter
Human Resources
Marketer
Motorcyclist
Military
Mechanic
Project Manager
Police
Probation Officer
Pilot
Paramedic/EMT
Steelworker
Systems Analyst
Scientist
Sales Representative
Transportation Operative
Technical Specialist
Selain itu gue juga ngambil tes ini:
Verbal/Linguistic 85%
Interpersonal 45%
Intrapersonal 45%
Logical/Mathematical 30%
Bodily/Kinesthetic 30%
Musical 20%
Visual/Spatial 20%
Naturalist 10%
Verbal/Linguistic Intelligence Multiple Intelligences (Free Test)
People with Linguistic intelligence love and are talented with words. They enjoy reading, writing and learning languages. They have an ability to teach and explain things to others. They learn best by reading, taking notes and going to lectures.
Common Characteristics
Notices grammatical mistakes
Often speaks of what they have read
Likes to use "fancy" words
Loves word games
Cherishes their book collection
Easily remembers quotes and famous sayings
Likes puns and rhymes
Enjoys writing
Enjoys foreign language
Always enjoyed English class
Career Matches
Writer (any type)
Editor
Public Speaker
Politician
Preacher
Teacher
Journalist
Broadcaster
English / Writing Tutor
Actor / Actress
Saya selalu suka membaca novel Lukisan Hujan karya Sitta Karina. Padahal novel ini bergenre teenlit dan saya baru membacanya kala saya akan memasuki semester 5 di kampus, which means saya agak ketuaan untuk baca novel ini. However, faktor umur yang udah nggak sinkron lagi ini toh tidak menghalangi saya untuk menikmati kisah Diaz Hanafiah dan Sisy Iswandaryo yang diceritakan dengan manisnya oleh Sitta Karina (you can’t imagine how her works inspire me to keep writing!). Dan saya harus mengakui, Diaz Hanafiah is awfully alluring! Semua yang pernah membaca Lukisan Hujan pasti tahu bahwa karakter Diaz adalah karakter laki-laki yang menjadi impian banyak cewek di permukaan bumi ini. Ganteng, pintar, heroik, cool, tidak sok tahu dan tetap humble walaupun keluarga besarnya merupakan keluarga konglomerat terkenal di Indonesia.
Tapi satu hal yang membuat saya bersimpati pada karakter ini adalah karena ada satu sisi dari karakter ini yang sedikit mengingatkan saya akan apa yang selama ini saya cari—dan kebetulan dicari pula oleh Diaz. A place to fit in. Walaupun berasal dari keluarga konglomerat, namun Diaz, kedua orang tua dan kakaknya memutuskan untuk hidup sebagai ‘orang biasa’ dan tidak menjadi bagian dari golongan socialite seperti sepupu-sepupunya yang lain. Rasa minder yang terkadang menggerogoti Diaz membentuk kepribadian Diaz yang introvert, kaku dan workaholic agar bisa mendapat pengakuan dari orang lain bukan karena dia berasal dari keluarga besar yang terpandang, namun karena dia mempunyai kompetensi yang tidak sembarangan. Rasa minder itu membuat Diaz akhirnya mencari sebuah tempat yang tepat, yang bisa menerima dia apa adanya, dan mampu menghargai dia tanpa atribut keluarga besarnya.
Saya—anehnya—mencari hal yang sama. Selama ini saya bertemu dengan banyak orang, mengalami banyak peristiwa yang secara tidak langsung menempa kepribadian saya seperti yang sekarang ini: a bitter realistic, an imaginative day-dreamer, an observant geek. Saya bangga dengan diri saya, itu jelas. Tapi sejujurnya saya harus mengakui bahwa ada saat-saat tertentu di mana saya merasa minder dan merasa diri saya inkompeten dalam bidang apapun. Ada kalanya saya merasa saya tidak mampu menjadi ‘seseorang’, dalam artian seseorang yang mempunyai hal yang spesial dalam dirinya. Sudah sering saya mencoba menunjukkan pada dunia bahwa saya pun punya sesuatu yang istimewa dari diri saya, namun terkadang saya lelah dan berpikir untuk menjadi pribadi yang plain, yang selama ini terlihat di luar. Tak jarang saya bertanya sendiri, apakah belum cukup yang saya lakukan selama ini sehingga orang-orang tidak bisa melihat bahwa saya pun bisa menjadi ‘seseorang’ yang dapat diterima?
Saya tahu, perjalanan saya masih terlalu panjang. Kepribadian saya akan terus ditempa oleh peristiwa dan tantangan yang datang di hidup saya. Saya juga sadar tidak semua orang dapat menerima proses yang tengah saya jalani ini, namun pengalaman saya sudah mengarahkan saya untuk menutup telinga dari tudingan sumir yang mungkin pernah diucapkan orang-orang di sekitar saya dan menganggap bahwa mereka tidak mengenal saya dengan baik, sehingga memiliki impresi yang salah terhadap saya. Yang bisa saya lakukan—seperti yang pernah diberitahu oleh teman saya—adalah melanjutkan hidup dan membuktikan bahwa apa yang mungkin ‘ditudingkan’ pada saya tidak benar. Yang bisa saya lakukan adalah melangkah dengan elegan untuk terus mencoba untuk menunjukkan siapa diri saya yang sebenarnya ke dunia, sekaligus terus mencoba menjadikan diri saya sebagai a better person, mengingat saya memiliki terlalu banyak kekurangan yang saya harap bisa terkikis seiring berjalannya waktu nanti.
“I’m only a man in a funny red sheet, looking for special thing inside of me…” (Superman-Five for Fighting).
Tapi satu hal yang membuat saya bersimpati pada karakter ini adalah karena ada satu sisi dari karakter ini yang sedikit mengingatkan saya akan apa yang selama ini saya cari—dan kebetulan dicari pula oleh Diaz. A place to fit in. Walaupun berasal dari keluarga konglomerat, namun Diaz, kedua orang tua dan kakaknya memutuskan untuk hidup sebagai ‘orang biasa’ dan tidak menjadi bagian dari golongan socialite seperti sepupu-sepupunya yang lain. Rasa minder yang terkadang menggerogoti Diaz membentuk kepribadian Diaz yang introvert, kaku dan workaholic agar bisa mendapat pengakuan dari orang lain bukan karena dia berasal dari keluarga besar yang terpandang, namun karena dia mempunyai kompetensi yang tidak sembarangan. Rasa minder itu membuat Diaz akhirnya mencari sebuah tempat yang tepat, yang bisa menerima dia apa adanya, dan mampu menghargai dia tanpa atribut keluarga besarnya.
Saya—anehnya—mencari hal yang sama. Selama ini saya bertemu dengan banyak orang, mengalami banyak peristiwa yang secara tidak langsung menempa kepribadian saya seperti yang sekarang ini: a bitter realistic, an imaginative day-dreamer, an observant geek. Saya bangga dengan diri saya, itu jelas. Tapi sejujurnya saya harus mengakui bahwa ada saat-saat tertentu di mana saya merasa minder dan merasa diri saya inkompeten dalam bidang apapun. Ada kalanya saya merasa saya tidak mampu menjadi ‘seseorang’, dalam artian seseorang yang mempunyai hal yang spesial dalam dirinya. Sudah sering saya mencoba menunjukkan pada dunia bahwa saya pun punya sesuatu yang istimewa dari diri saya, namun terkadang saya lelah dan berpikir untuk menjadi pribadi yang plain, yang selama ini terlihat di luar. Tak jarang saya bertanya sendiri, apakah belum cukup yang saya lakukan selama ini sehingga orang-orang tidak bisa melihat bahwa saya pun bisa menjadi ‘seseorang’ yang dapat diterima?
Saya tahu, perjalanan saya masih terlalu panjang. Kepribadian saya akan terus ditempa oleh peristiwa dan tantangan yang datang di hidup saya. Saya juga sadar tidak semua orang dapat menerima proses yang tengah saya jalani ini, namun pengalaman saya sudah mengarahkan saya untuk menutup telinga dari tudingan sumir yang mungkin pernah diucapkan orang-orang di sekitar saya dan menganggap bahwa mereka tidak mengenal saya dengan baik, sehingga memiliki impresi yang salah terhadap saya. Yang bisa saya lakukan—seperti yang pernah diberitahu oleh teman saya—adalah melanjutkan hidup dan membuktikan bahwa apa yang mungkin ‘ditudingkan’ pada saya tidak benar. Yang bisa saya lakukan adalah melangkah dengan elegan untuk terus mencoba untuk menunjukkan siapa diri saya yang sebenarnya ke dunia, sekaligus terus mencoba menjadikan diri saya sebagai a better person, mengingat saya memiliki terlalu banyak kekurangan yang saya harap bisa terkikis seiring berjalannya waktu nanti.
“I’m only a man in a funny red sheet, looking for special thing inside of me…” (Superman-Five for Fighting).
“Wuih hebat!” (senyum asem)
“Apa? Wah, tiap hari guten morgen dong!”
“Oh...” (muka datar)
“Mau kerja apa pas lulus?”
“Oh! Ich liebe dich ya?”
Itu reaksi orang-orang begitu saya memberitahu mereka jurusan apa yang saya ambil. Mungkin saya belum pernah cerita di postingan blog ini, kalau saya kuliah semester 5 (Februari ini masuk semester 6) di satu-satunya universitas yang menyandang nama negara ini. Dan jurusan yang saya ambil adalah sastra. Tepatnya sastra Jerman. Saya memilih jurusan ini sama sekali bukan karena asal tembak asal diterima di universitas tempat saya kuliah sekarang. Saya memutuskan memilih jurusan ini dengan segala resikonya (nggak punya modal bahasa Jerman sama sekali pas SMA) karena pertama, saya merasa bakat dan minat saya hanya ada di bahasa, dan kedua, saya punya mimpi menjadi jurnalis sepakbola yang someday bisa bertemu dan interview Michael Ballack, Juergen Klinsmann, Lotthar Matthaus atau even Franz Beckenbauer dan melakukan interview itu dengan bahasa Jerman! Singkat kata, dengan dua alasan tersebut, saya menjalani perkuliahan saya di sini dengan ikhlas dan siap dengan semua tugas-tugas, kuis, serta ujian.
Tapi ternyata, setelah saya 2, 5 tahun kuliah, di luar sana saya selalu saja bertemu dengan orang-orang yang bertanya ke saya di mana saya kuliah dan jurusan apa yang saya ambil. Lalu ketika saya menjawab pertanyaan mereka, respons mereka kebanyakan seperti yang saya cantumkan di awal postingan ini. Respons yang lama-lama membuat saya bertanya sendiri: apa ada yang salah dengan belajar sastra?
Saya tahu, mungkin dari nama, jurusan yang saya ambil terdengar ‘tidak menarik’. Sastra Jerman. Saya juga sangat sadar, banyak yang menganggap jurusan sastra atau bahasa tidak lebih dari jurusan kelas dua yang perkuliahannya mudah dan punya peluang besar untuk mendapatkan Indeks Prestasi tiga koma setiap semesternya. Saya juga tahu mereka bertanya-tanya, apa pekerjaan yang bisa didapatkan oleh seorang lulusan sastra? Saya juga tahu mereka menganggap jurusan ini di bawah jurusan seperti psikologi, HI, manajemen, akuntansi atau teknik. Saya bisa melihat anggapan itu dari mata mereka, walaupun mereka tidak mengatakan apapun pada saya. Dan seandainya mereka tahu bahwa saya ingin sekali membuka mata dan telinga mereka lebar-lebar bahwa kuliah sastra sama sekali jauh dari kata mudah. Sejujurnya saya juga bahkan tidak yakin, apakah orang yang mengambil jurusan-jurusan di atas tadi bisa mengikuti proses kuliah bahasa Jerman seperti yang sudah saya dan teman-teman saya lalui selama ini? Karena pengalaman saya selama 2, 5 tahun kuliah di sini telah membuktikan bahwa teori ‘survival of the fittest’ Darwin benar-benar berlaku, khususnya di jurusan saya.
Saya nggak bilang kalau orang-orang yang kuliah di jurusan psikologi, manajemen, HI, dll itu bodoh. Sama sekali tidak ada anggapan macam itu di kepala saya. Hanya saja saya ingin orang-orang yang memandang sebelah mata pada mahasiswa sastra, juga orang-orang yang mungkin tanpa sengaja membaca postingan blog ini mengerti bahwa jurusan sastra—seperti juga jurusan lain—bukanlah jurusan yang bisa dimasuki oleh sembarangan orang. Karena jurusan sastra punya tingkat kesulitan yang belum tentu bisa di-handle oleh semua orang. Orang yang tidak mampu bertahan, tidak mampu menyesuaikan diri dengan ‘medan tempur’ dipastikan akan segera gugur. Dan hanya orang-orang pilihan yang bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu di jurusan sastra.
Dengan semua itu, apakah jurusan sastra masih pantas disebut jurusan kelas dua?
“Apa? Wah, tiap hari guten morgen dong!”
“Oh...” (muka datar)
“Mau kerja apa pas lulus?”
“Oh! Ich liebe dich ya?”
Itu reaksi orang-orang begitu saya memberitahu mereka jurusan apa yang saya ambil. Mungkin saya belum pernah cerita di postingan blog ini, kalau saya kuliah semester 5 (Februari ini masuk semester 6) di satu-satunya universitas yang menyandang nama negara ini. Dan jurusan yang saya ambil adalah sastra. Tepatnya sastra Jerman. Saya memilih jurusan ini sama sekali bukan karena asal tembak asal diterima di universitas tempat saya kuliah sekarang. Saya memutuskan memilih jurusan ini dengan segala resikonya (nggak punya modal bahasa Jerman sama sekali pas SMA) karena pertama, saya merasa bakat dan minat saya hanya ada di bahasa, dan kedua, saya punya mimpi menjadi jurnalis sepakbola yang someday bisa bertemu dan interview Michael Ballack, Juergen Klinsmann, Lotthar Matthaus atau even Franz Beckenbauer dan melakukan interview itu dengan bahasa Jerman! Singkat kata, dengan dua alasan tersebut, saya menjalani perkuliahan saya di sini dengan ikhlas dan siap dengan semua tugas-tugas, kuis, serta ujian.
Tapi ternyata, setelah saya 2, 5 tahun kuliah, di luar sana saya selalu saja bertemu dengan orang-orang yang bertanya ke saya di mana saya kuliah dan jurusan apa yang saya ambil. Lalu ketika saya menjawab pertanyaan mereka, respons mereka kebanyakan seperti yang saya cantumkan di awal postingan ini. Respons yang lama-lama membuat saya bertanya sendiri: apa ada yang salah dengan belajar sastra?
Saya tahu, mungkin dari nama, jurusan yang saya ambil terdengar ‘tidak menarik’. Sastra Jerman. Saya juga sangat sadar, banyak yang menganggap jurusan sastra atau bahasa tidak lebih dari jurusan kelas dua yang perkuliahannya mudah dan punya peluang besar untuk mendapatkan Indeks Prestasi tiga koma setiap semesternya. Saya juga tahu mereka bertanya-tanya, apa pekerjaan yang bisa didapatkan oleh seorang lulusan sastra? Saya juga tahu mereka menganggap jurusan ini di bawah jurusan seperti psikologi, HI, manajemen, akuntansi atau teknik. Saya bisa melihat anggapan itu dari mata mereka, walaupun mereka tidak mengatakan apapun pada saya. Dan seandainya mereka tahu bahwa saya ingin sekali membuka mata dan telinga mereka lebar-lebar bahwa kuliah sastra sama sekali jauh dari kata mudah. Sejujurnya saya juga bahkan tidak yakin, apakah orang yang mengambil jurusan-jurusan di atas tadi bisa mengikuti proses kuliah bahasa Jerman seperti yang sudah saya dan teman-teman saya lalui selama ini? Karena pengalaman saya selama 2, 5 tahun kuliah di sini telah membuktikan bahwa teori ‘survival of the fittest’ Darwin benar-benar berlaku, khususnya di jurusan saya.
Saya nggak bilang kalau orang-orang yang kuliah di jurusan psikologi, manajemen, HI, dll itu bodoh. Sama sekali tidak ada anggapan macam itu di kepala saya. Hanya saja saya ingin orang-orang yang memandang sebelah mata pada mahasiswa sastra, juga orang-orang yang mungkin tanpa sengaja membaca postingan blog ini mengerti bahwa jurusan sastra—seperti juga jurusan lain—bukanlah jurusan yang bisa dimasuki oleh sembarangan orang. Karena jurusan sastra punya tingkat kesulitan yang belum tentu bisa di-handle oleh semua orang. Orang yang tidak mampu bertahan, tidak mampu menyesuaikan diri dengan ‘medan tempur’ dipastikan akan segera gugur. Dan hanya orang-orang pilihan yang bisa menyelesaikan kuliahnya tepat waktu di jurusan sastra.
Dengan semua itu, apakah jurusan sastra masih pantas disebut jurusan kelas dua?
Subscribe to:
Posts (Atom)