on Wednesday, July 29, 2009
Huff... jadi ceritanya, gw iseng-iseng mencari pekerjaan freelance untuk mengisi sisa liburan serta kalo memungkinkan bisa gue lanjutin sambil kuliah. Waktu itu seorang teman gue lewat chatting di Facebook pernah nanya "Mau kerjaan gak?" dan gue jawab (selayaknya orang normal) "Iya". Temen gue itu kemudian mengirimkan message ke inbox FB gue, hasil forward dan ternyata isinya adalah lowongan menjadi penerjemah freelance. Gue pun dengan senang hati membuat surat lamaran dan CV dan mengirimkannya ke pemberi lowongan ybs. Limitnya sih masih tanggal 3, dan di sinilah gue, menunggu respon dari si pemberi lowongan. Kemudian udah dua hari ini, thanks to holiday boredom, gue iseng-iseng (lagi) googling cari lowongan buat kerja freelance, either jadi penerjemah atau jadi guru bahasa Inggris. So far gue udah ngirim ke empat tempat, dua untuk posisi penerjemah (FYI, one of them is position for translator in 2010 World Cup in South Africa! And I applied for it. Nekat kan?) dan du lagi untuk jadi guru bahasa Inggris. Well... gue belum tahu hasilnya gimana, dan gue hanya bisa berharap semoga CV gue dibaca dan direspon (amin!)
Dan selama dua hari pencarian ini, gue akhirnya bener-bener mengalami sendiri
betapa susahnya nyari kerja di Jakarta!

"Mwahahaha, naif banget lo!"

Yayayaya, gue tau pasti ada aja orang yang bakal ngomong kaya gitu.
I won't blame them. The point is, selama ini gue hanya mendengar bahwa di Jakarta bahkan di Indonesia, cari kerja itu susah tanpa ngalamin sendiri. Jadi gue nggak pernah tau seberapa susahnya. Nah sekarang, setelah gue 'terjun' sebagai job-seeker, kini gue bisa merasakan bahwa sungguh susah cari kerjaan yang cocok buat gue (apalagi gue masih kuliah). Tapi.. yah, I just try to look at the brightside. Berkat pengalaman cari kerja ini, finally gue udah punya blue-print surat lamaran dan CV dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, serta bisa sedikit berharap walaupun mungkin saat ini gue nggak keterima, tapi mudah-mudahan aja CV gue disimpen di data base lembaga-lembaga penyedia lowongan itu. Dan yang paling penting gue udah punya pengalaman nyari kerja, jadi kalau saatnya tiba untuk nyari kerja lagi (the real one), I won't be shocked anymore!

Pffiuuu....

on Sunday, July 26, 2009
Pernah dengar ungkapan yang gue pilih sebagai title ini? Gue baru bener-bener ngeh dengan ungkapan ini saat membaca sebuah novel Indonesia. Damn, jujur ya, gue merasa 'terganggu' sekali dgn ungkapan ini. Jujur, kalo gue mendengar orang mengatakan ini, secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa ia 'pengecut', tidak berani menghadapi reaksi yang akan muncul atas perkataannya. Yup, banyak sekali orang yang menolak berbicara kebenaran dgn dalih 'tidak ingin menyakiti siapa-siapa dengan perkataannya'. Well,hey, ini hidup. Nggak usah mencemaskan hal yang memang bisa terjadi dalam hidup. Adam Levine dalam lagunya She Will be Loved bilang "It's not always rainbows and butterflies, it's compromise, it moves us along". Intinya hidup ya memang begitu, kadang menyakitkan. Dan coba jelaskan ke gue, bagaimana seseorang bisa begitu yakinnya bahwa perkataannya akan menyakitkan orang lain. Nobody won't know until the sentence is said. Lagipula reaksi apapun yang muncul sangat bergantung dari kondisi si pendengar saat menyerap informasi yang muncul. Dan nggak ada seorang pun yang berhak menyalahkan kita untuk menyampaikan kebenaran. sepahit-pahitnya kebenaran, akan lebih manis pada akhirnya dibanding kebohongan yang awalnya manis, namun makin lama baunya seperti bau bangkai yang akhirnya tercium juga....
(ini gw re-post dari note Facebook gw)

Saya benar-benar kehabisan akal untuk mengungkapkan betapa tidak bermutunya acara TV di Indonesia saat ini. Selama liburan, saya memperhatikan dari pagi sampai pagi lagi di semua stasiun TV yang ditangkap oleh antena TV rumah saya dan saya hanya bisa menghela nafas mengetahui semakin sedikitnya acara TV yang bermanfaat bagi penonton di rumah dan mau tidak mau saya menangkap kesan bahwa pengelola stasiun TV sekarang hanya membuat acara berdasarkan alasan ‘to entertain’ (menghibur) dibandingkan ‘to educate’ (mendidik).Acara TV pagi didominasi oleh acara musik yang menampilkan chart lagu Indonesia, dipandu oleh host artis yang mencekoki penonton dengan obrolan sok pintar yang tidak bermutu, bintang tamu band ‘antah-berantah’ (saya tidak menyalahkan mereka, karena selama masih ada yang menyukai musik mereka, mereka akan tetap ada) yang sayangnya hanya memenuhi khasanah musik tanah air secara kuantitas bukan kualitas, menyanyikan (tak jarang mereka lipsync) hits-hits yang temanya tidak jauh dari cinta, air mata, patah hati dan perselingkuhan. Tayangan ini dimeriahkan pula oleh penonton-penonton dengan dandanan ‘ala masa kini’ meliputi legging warna-warni, kacamata besar dengan frame warna-warni pula, bergerak seirama mengikuti musik, bahkan ikut bernyanyi bersama sang bintang tamu. ‘Hebatnya’, acara ini tidak hanya terdapat di satu stasiun TV, melainkan di kurang lebih 3 stasiun TV dan ditayangkan pada waktu yang nyaris bersamaan dengan pola yang sama. Menjelang santap siang hingga sore, layar TV saya didominasi oleh jenis tayangan yang menurut saya adalah kesalahan terbesar dalam industri media: infotainment. Acara-acara semacam ini mayoritas dipandu oleh host wanita berdandan anggun namun dengan siap siaga memasang wajah penuh gosip, seolah berkhayal sebagai orang paling tahu segalanya di dunia. Dengan dalih ‘memberikan informasi seputar dunia selebritis’ ditayangkanlah sejumlah berita mengenai pesohor—beberapa di antaranya bahkan saya tidak tahu kalau mereka itu artis—dengan persentase kebenaran yang hanya Tuhan yang tahu. Agar lebih seru, tak jarang tayangan-tayangan ini dibumbui oleh narasi-narasi provokatif yang dibawakan dengan gaya deklamasi oleh narator bersuara mistis. Dengan narasi seperti ini, tak urung penonton dibawa hanyut dalam asumsi dan dugaan-dugaan. Seperti: “Benarkah aktor A akan membawa aktris B ke pelaminan akhir tahun ini, tanpa mempertimbangkan usia aktris B yang masih 18 tahun?” Atau “Mungkinkah hubungan penyanyi A dengan kekasihnya, wanita C hanya sebagai penawar rasa sedih penyanyi A setelah cintanya pada aktris film D kandas di tengah jalan?” atau “Apakah benar, bahwa vokalis band X sengaja mencari perkara pada sang istri, G untuk berpisah dan bisa kembali ke pelukan sang kekasih lamanya, model kondang Y?” serta sejumlah pertanyaan lain yang ketika dikonfirmasi pada orang yang bersangkutan hanya dijawab seadanya dengan nada kesal (siapapun akan kesal jika ditanya seperti itu), lalu disimpulkan secara sepihak oleh reporter dan penulis naskah dan disiarkan ke penonton sebagai suatu kebenaran. Dan tanpa sadar, kita pun dicekoki oleh kebohongan mengenai orang-orang yang tidak kita kenal, setiap hari. Dan ‘bencana’ sesungguhnya dimulai ketika malam. ‘Bencana’ itu bernama sinetron. Tayangan penuh konflik yang menjual mimpi, menunjukkan kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin yang menebarkan sindrom Cinderella akut serta mempertontonkan kekerasan dalam bentuk verbal maupun fisik. Belum lagi dengan jalan cerita yang seringnya tidak masuk akal, ayah tokoh si A ternyata dulu menikah dengan ibu si tokoh B, lalu ternyata si tokoh B adalah anak dari si C yang tak lain adalah ayah dari si D yang menginginkan cinta si tokoh A, lalu ternyata si D juga adalah anak adopsi dan ibu kandungnya adalah si E yang ternyata adalah ibu kandung si B dan si E pernah menikah dengan F yang bermusuhan dengan ayah si tokoh A, dan seterusnya. Belum lagi adegan-adegan di sekolah (baik SD, SMP, SMA) atau kampus yang bagi saya sama sekali tidak mirip dengan sekolah dan kampus di dunia nyata, juga dandanan siswa/siswi yang terlampau menor dengan aksesoris macam kalung dog tag, rambut gaya polem (yang saya tahu ini pasti dilarang di sekolah betulan) bagi para siswa, juga rok yang terlampau pendek, make-up yang lebih cocok dipakai ke pesta dibanding ke sekolah, aksesoris yang membuat saya berpikir apa jangan-jangan tokoh ini ke sekolah untuk berjualan aksesoris saja (khusus siswi), serta gesture, tingkah laku dan ucapan yang tidak mencerminkan anak sekolah, serta adegan bullying di sekolah serta tokoh guru yang hanya berkesan tempelan dan tidak memiliki wibawa. Adegan ber-setting kampus pun tak kalah parahnya. Entah kampus mana di dunia nyata yang mengizinkan mahasiswinya mengenakan tanktop atau mini skirt ke kampus. Dan adegan kekerasannya… ya ampun. Alangkah tidak pantasnya adegan tampar-menampar, bentak-membentak, caci-maki dengan kata-kata kasar itu dipertontonkan di TV di jam-jam yang masih banyak anak kecil menonton tayangan ini. Belum lagi si korban biasanya hanya mampu menangis dan tidak mampu melawan. Malah ada satu sinetron yang belum ditayangkan sama sekali, namun iklannya sudah mempertunjukkan begitu banyak kekerasan (teman-teman pasti tahu sinetron apa yang saya maksud) dan iklan itu ditayangkan 24 hours a day, 7 days a week, ditonton oleh semua orang, termasuk anak kecil. Kalau setiap hari kita dicekoki tayangan seperti ini, kapan bangsa ini bisa dewasa?
you're like a breezy wind in the heat
the way you touch me with your heart is exceptional
many want to be with you
therefore I'm thankful you decide to be with me